Sebuah Kata Maaf (Bagian 2)

Kemenangan Dalam Sepi

Di saat sedang rebahan dan mengehela nafas panjang, tiba-tiba telepon genggam ku berdering kembali. Hentakan suara drum yang repetitif, disertai raungan riff gitar yang cepat dan groovy dalam lagu Born To Lose milik Motorhead membuyarkan ingatan-ingatan yang sedang aku coba reka ulang. Ah! Apalagi ini editor ku? Sementara pikiran ini terus berkejaran dengan rasa marah yang aku sendiri tidak paham apa mau ku sebetulnya. Semua kewajiban edisi ini sudah seselsai aku kerjakan dan dikirim tepat sesuai dengan jadwalnya. Aku hanya bisa menggerutu dalam hati, sambil tetap berpura-pura tidak ada masalah saat mengangkat telepon.

“Lo tau waktu deadline kan?,” kalimat pertama yang terucap dari pria bengis di  ujung telepon.

“Tau Bang, emang ada yang kurang? Kenapa nggak di update di grup?”

“Ini artikel Pidi Baiq mana? Ko, nggak loe bikin? Lo harusnya tau, profesi kaya lo ini deadline ibarat Tuhan lo! Hidup mati lo bergantung sama deadline, paham!!”

“Pidi Baiq? Lah, bukannya Rian yang ngerjain, gue sih ngerjaian apa yang ada di TOR aja”

“Emang di TOR siapa yang garap? Rian? Bentar gue cek.”

“Anjing, beneran Rian yang garap. Sorry nih boy gue marah-marah sama lo”

“Nggak apa-apa bang, namanya juga deadline. Hidup mati kita kan disitu, wajar stressing tinggi, hehehe” jawabku, sambil menahan tawa.Karena kali ini aku menang telak!

“Oke, sorry nih. Happy weekend!” tutup editorku, dengan sedikit rasa malu.

Kemenangan telak atas editor ku hari ini menjadi sedikit hiburan dari sekian banyak kegelisahan yang dihadapi. Seharian ini aku hanya berkutat dengan tulisan dan foto di kantor. Belum lagi sebuah telepon yang mebuyarkan konsentrasi, bolehlah aku sedikit melepas tawa manis sebagai tanda kemenangan dalam sebuah sepi, di  penghujung hari. Matahari perlahan mulai menyembunyikan dirinya. Sambil membereskan barang-banrang, dari jendela kantor aku melihat terik-teriknya mulai membias. Menghasilkan warna jingga yang kemudian menguning dan menenangkan hati. Ah, Senja! Aku selalu suka senja, dia selalu menjadi pengingat hari berganti. Mengingatkan kita agar jangan pernah lupa beristirahat dan bersyukur, karena masih ada esok hari yang harus di hadapi.

Satu hal yang aku lupa, ini adalah hari Jumat. Waktu yang selalu menyebalkan bagi orang-orang yang tinggal di Bandung. Karena harus berebutan jalan dengan wisatawan dari kota lain, Jakarta khususnya. Niat ingin pulang ke rumah, aku urungkan. Terlintas dalam pikiran untuk mencari tempat menyendiri.Ya, dalam kondisi seperti ini aku lebih senang menyendiri, ketimbang harus bertemu banyak orang. Aku tidak ingin merusak keceriaan orang lain dengan keluhan-keluhan yang terlontar, nantinya. Sebelum terjebak macet, aku putar balik “Si Jagur” motor tua kesayangan ku menuju kawasan Dago pojok. Menuju sebuah beerhouse kecil yang tempatnya cukup nyaman untuk menyendiri.Sebelumnya aku berhenti sejenak di sebuah kios pinggir jalan untuk membeli rokok, dan mematikan telepon genggam. Aku tidak ingin di ganggu malam ini! Aku hanya ingin sendiri dan menyepi. Karena ada sepi sendiri yang bisa menenangkan hati, ada sunyi yang tidak bisa dibagi dengan siapapun.

***

Merekonstruksi Kenangan

Matahari sudah tenggelam sepenuhnya. Tugasnya kini digantikan oleh lampu-lampu penerangan jalan yang menemani para penikmat dan pekerja malam. Waktu menunjukan pukul enam lebih tiga puluh menit. Akhirnya aku sampai di tempat tujuan setelah melewati ‘rusuhnya’ jalanan kota. Aku bukan lari dari masalah, ritual beer ini semata-mata hanya untuk stimulus otak yang mulai tumpul dalam kondisi seperti ini jika dipaksa merekonstruksi kenangan. Seperti biasa, jika aku datang sendirian kesini aku memilih tempat duduk di meja bar paling kanan. Tempatnya ada di pojokan, agak tersembunyi karena terhalang oleh sebuah tong kayu besar yang berisikan draft beer hasil home brewing ciri khas beerhouse ini. Malam ini aku hanya memesan satu pitcher besar draft beer, lengkap ditemani secarik kertas dan pinsil untuk menggambar. Satu tegukan pertama terasa begitu pahit, seiring dengan ingatan yang berjalan-jalan jauh pada kenangan empat tahun silam.

Dilla. Ya, aku masih ingat betul namanya. Bahkan tanggal lahir serta alamat rumahnya. Sosok manja, periang, cerewet, dan sesekali menyebalkan. Sosok yang suka atau tidak suka harus aku akui menemaniku melewati masa-masa sulit selama satu tahun setengah. Lawan bertengkar sekaligus teman berpikir yang paling sulit aku taklukan. Sosok yang mengajarkan aku arti sebuah tawa. Dia jugalah yang mengajarkaan aku bagaimana harus bersikap menjadi seorang teman, pacar dan kakak dalam waktu yang bersamaan. Pendeknya pada saat itu aku merasa sebagai seseorang  yang paling beruntung karena memiliki teman berbagi seperti Dilla.

Aku dan Dilla adalah teman satu kampus, namun berbeda fakultas. Memiliki pasangan satu kampus bisa jadi hal yang menyenangkan sekaligus hal yang paling buruk, pada akhirnya. Kampus tempat aku dan Dilla berkuliah ini bukanlah kampus favorit di Bandung, tempat kuliahnya pun kecil dan lingkungannya seputaran itu saja. Belum lagi mahasiswanya mayoritas berasal dari luar kota. Termasuk Dilla yang menghabiskan masa SMA-nya di di luar Bandung.

Aku bukanlah mahasiswa populer di kampus, bukan pula aktivis kampus. Aku malas bergaul di kampus. Waktu ku lebih banyak di habiskan untuk berkegiatan di luar kampus. Karena aku bekerja paruh waktu untuk tambahan uang jajan kuliah. Makanya aku memiliki teman jauh lebih banyak di luar kampus. Terlebih, aku pikir pergaulan di kampus ini tidak sesuai dengan ekspektasi ku.

Mulai mengenal Dilla pada pertengahan semester dua perkuliahan. Berawal dari sebuah kebetulan di lorong kampus, singkat cerita hingga akhirnya kita berpacaran. Dilla adalah mahasiswa yang cukup dikenal di kampus, karena dia anggota himpunan. Lain di kampus lain pada keseharian. Aku jauh lebih mengenal sosoknya di luar kampus. Dilla adalah anak rumahan yang jarang sekali bergaul. Lingkungan pertemanannya hanya seputaran rumah dan kampus. Tipikal anak bungsu memang. Dia bungsu dari dua bersaudara, dan kakaknya laki-laki.

Meskipun jarang bergaul, ternyata di kota asalnya dia adalah seorang penyiar di radio lokal. Karena salah satu hobinya sama denganku, mendengarkan musik. Meski dari sisi selera kita berdua jauh bertolak belakang. Pernah suatu hari ia berkata kalau ingin kembali siaran, tapi di Bandung. Melihat minat dan bakatnya aku berinisiatif mengenalkannya pada beberapa temanku yang memang bekerja di salah satu radio. Sampai pada akhirnya dia berhasil menjadi penyiar di salah satu radio di Bandung. Aku bangga di satu sisi, namun di sisi lain ke khawatiran muncul. Sebuah ketakutan akan kehilangan mulai menggerogoti dalam hati.

Pacaran bukan soal komitmen saja tapi lebih pada kebebasan. Ketika satu diantara kita  masih melarang-dilarang-terkekang, mana mungkin bisa mengenal satu sama lain. Sebuah hubungan menjadi sesuatu yang salah ketika kita membuatnya menjadi sebuah aturan baku. Setiap hari harus antar jemput, setiap hari harus sms, setiap hari harus bertemu dan seterusnya. Hubungan seperti itu hanya sebuah pengulangan, tanpa ada makna pembelajaran di dalamnya. Meskipun demikian aku sadar diri, dan tetap bertahan. Karena aku sayang Dilla. Meskipun bagi sebagian orang alasan ‘cinta’ merupakan sebuah pembodohan.

Bertemu setiap hari tentunya menyenangkan, pada awalnya. Tetapi intensitas yang sering berulang, toh menimbulkan rasa jenuh juga. Satu yang tidak kita sadari pada saat itu adalah komunikasi. Meskipun hampir setiap hari bertemu, tidak menjamin komunikasi yang dijalin itu purna. Terkadang segala sesuatunya menjadi samar, bahkan bias. Karena semua hanya terlihat dari permukaan tanpa bisa menyelami bagian paling dalam dari hubungan yang dijalani. Sejak awal September di lorong itu, hari dan bulan-bulan berikutnya tidak pernah lagi sama, yang ada dalam pikiran hanya kata ‘datar’.

Bersambung……

Published by Irfan Nasution

A prolific dreamer. Senang motret, senang musik, senang nulis, senang misuh, senang-senang.

Leave a comment