#Late Post : Sewindu, dari Bandung Sampai Amsterdam

Time flies..Teruntuk dirimu yang jauh di negeri kincir sana,

Bukan lagi sekedar kabar angin, karena nyatanya kau tak lagi disini. Bukan pula perkara ‘tidak bisa beranjak’. Ini hanya perkara senja dan kuningnya yang membawa ingatan ini kembali ke beberapa lembaran awal catatan kecil ku, yang sudah lama tersimpan rapih dalam laci. Maka aku tuliskan baik-baik ingatan ku disini.

Ribuan mil terbentang jauh antara Bandung dan Amsterdam. Terhalang jarak, berkalang rindu. Apa yang tidak lebih menyakitkan dari sebuah kerinduan yang terpisah jarak, ruang dan waktu? Ini hikayat si anak tunggal yang masih kebingungan menyelami pikirannya sendiri. Si anak bengal yang setengah mati terus membenahi hidupnya. Merekontruksi ulang impiannya, mengumpulkan kembali sedikit demi sedikit semangat yang sempat tercecer, berserakan.

Sampai saat ini aku masih saja menepuk jidat jika mengingat apa yang terjadi di depan gapura sebuah pasar dekat sekolah kita dulu. Kau ‘menyelamati’ aku karena mendapatkan jawaban yang aku inginkan, waktu itu. Mungkin, ada ragu menyertai kita. Namun perlahan kita mulai menyatu, seiring baris-baris kata yang keluar masuk dalam pesan singkat di Nokia usang keluaran tahun-tahun awal. Kadang saling memuji, tak jarang juga kita saling mengumpat. Tapi satu yang pasti, sejumput doa dan segenggam harap selalu terselip disana. Menjaga asa untuk tetap terjaga. Mengawal nalar untuk tetap di ambang waras.

Aku masih ingat betul saat kita pulang larut malam dari sebuah pertunjukan musik. Kau tersenyum manis kepadaku saat kita berjalan diantara pohon-pohon yang melindungi kita dari gerimis yang manis. Itu juga pertama kalinya aku memegang tangan mu. Malam itu ingin rasanya aku berbisik, namun hanya ku bingkai indah dalam hati, ‘aku menyanyangi mu’. Yang terasa hangat dan nyata hanya sebuah rangkulan. Kita pun menyusuri malam, merajut cinta dalam gita, menjemput lelah dalam tawa, untuk kemudian berpisah di persimpangan jalan pulang.

Aku juga masih terkekeh-kekeh jika melihat sebuah video hasil movie maker yang ku hadiahkan pada hari ulang tahun mu yang berbarengan dengan Dian Sastro. Malu sendiri jika mendengar lagu ‘I do’ milik Ten 2 Five mengudara di satasiun radio favorit mu. Heran sendiri karena dulu dengan pede-nya aku bernyanyi di depan orang tua dan sahabat-sahabat mu. Merasa ‘lebay’ sendiri ketika melihat hasil foto box ukuran 3 x 4 yang terselip diantara gundukan potongan tiket bioskop dan pensi jaman SMA. Konyolnya lagi foto itu pula yang aku repro dengan ukuran beberapa kali lipatnya, supaya bisa menjadi latar sebuah jam meja kecil yang kemudian aku hadiahkan juga di hari ulang tahun mu.

Namun semuanya hanya bisa kusimpan erat dalam hati, terikat kencang diantara beribu ingatan baik lainnya bersamamu. Hanya repihan kecil yang ku tuliskan dengan baik disini..

Senja kini perlahan pudar. Tersaturasi oleh hitam yang kian pekat. Ini perkara mengingat, bukan sebuah rengekan. Aku masih peracaya rotasi matahari, pun meyakini kekuatan sebuah hasrat. Tak ada penyesalan, meski hanya triwulan yang di banjiri kasih. Aku juga bukan berharap, hanya memutar ingatan sedikit kebelakang. Memperpanjang ingatan, menegur kesombongan, berkelahi melawan ego untuk sekadar melepas resah, dan berkata rindu dengan lirih. Meski mungkin kau tak akan pernah tahu, sampai pada waktunya ingatan mu sendiri yang memaksa untuk mengingat.

Sewindu sudah berlalu. Kopi secawan di malam sendu bagai anastesi bagi hati yang tak karuan ini. Potongan-potongan prosa, kutipan kalimat, serta sebait keresahan mengalir deras namun teratur dalam layar 15 inci ini. Aku sudah terbiasa dengan pertemuan kosong. Pertemuan yang hanya ada dalam kanal-kanal berlabel sosial media yang konon viral, dan ampuh memperpendek jarak. Meski tetap saja terhalang layar berbatas kuota internet. Fana!

Sebenarnya aku tak mau tahu lagi tentang kabar mu yang paling kekinian, tapi rasanya aku tak bisa bohong pada diri sendiri. Ah! Maka demi Tuhan dengan segala kebesaran NYA, demi kejujuran yang aku perjuangkan dalam setiap berita yang ku tulis. Demi setiap peluh yang berjatuhan, dan demi setiap rasa marah yang selalu menyiksa. Jangan biarkan ‘gengsi’ ini membuatku lupa diri. Biarkan aku menjilat ludah untuk kembali menginjak bumi, dan berkata ‘Aku rindu padamu!’. Lagi! Dengan terbata-bata bersama doa-doa di setiap helaan nafas ku, sekali lagi, sebelum mata ini tertutup dan kembali ke pusara.

10/04/15 – 01.58 WIB – Antara “Seribu Mil Lebih Sedepa” yang menenangkan, dan Manic Street Preacher yang begitu lirih dalam  “Suicide Is Painless”

Published by Irfan Nasution

A prolific dreamer. Senang motret, senang musik, senang nulis, senang misuh, senang-senang.

Leave a comment